Senin, 08 Februari 2010

Art-Living Sos 2009 (A-1 Cobek...uleg-uleg...

Art-Living Sos 2009 (A-1
Start : 20/01/2009
Edit :08/02/2010 14:10:45
Finish : 08/02/2010 17:01:36


COBEK...ULEG-ULEG...


Hari libur....yihaaaaaa....harinya bidadari turun ke bumi...hehehe...Hari turun ke dapur...It’s time for Cooking party...

Seperti biasa, pesanan untuk masakan khusus hari libur sudah ngantri. Si Cantik udah pesen kwetiaw goreng...(agaiiiiiiin...gak ada matinya tuh kwetiaw goreng), Pangeran pesennya yang sederhana aja...nasi goreng pakai cabe rawit yang banyaaakkkssss...(cabe rawit yang merah 10 buah belum nendang...gilaaakkkk deh pokoknya).., saya sendiri lagi kepengen makan makanan kedoyanan...tempe penyet pakai sambel bawang... cihuyy...

Persiapan pun dilakukan. Untuk kwetiaw goreng lebih gampang. Bahan-bahan cukup diiris dan dicemplungkan ke dalam wajan. Udang, baso, sayuran...plus bumbu bawang putih cukup digongseng sejenak...lalu cemplung-cemplung...kwetiaw, telur dan kecap segala rasa...lalu taburi merica sedikit...masukkan tauge...matikan api. Selesai ...

Nah, sekarang urusan nasi goreng nih. Biarpun kayaknya Cuma nasi goreng, tapi mengulek bumbunya itu tuh...bikin setres juga. Pangeran maunya cabe rawit merah yang manyala bob itu...diulek sampai halus banget...baru dicampur bawang putih sedikit. Urusan mengulek cabe memang urusan sederhana. Tapi sejak jaman dahulu kala, saya paling enggan mengulek sambel. Panasnya itu, di tangan seperti mau melepuh. Namun demi cinta....(eheeemm...), mau tidak mau saya harus mulai berjuang...hiiikkss...

Saya mempersiapkan alat kerjanya dulu. Cobek dan ulekannya.

Naaah, sekarang sudah ketemu. Cobek yang terbuat dari batu asli dengan diameter kurang dari satu jengkal itu saya isi dengan butiran-butiran cabe rawit merah, bawang putih, terasi sedikit dan garam. Lalu saya mengambil ulekan atau muntunya, dan mulailah beraksi dengan segala tenaga dan daya....agar si cabe rawit bisa tergerus halus dan menyatu dengan sempurna. Ahaaa...setelah kurang lebih sepuluh menit berkutat dengan ulekan, akhirnya berhasil juga saya membuat sambel cabe rawit untuk bahan dasar nasi goreng...heh heh....

Selesai memasak nasi goreng, giliran saya membuat tempe penyet. Ini tempe goreng yang dicampur dengan ulekan sambal bawang. Caranya, cabe merah dan bawang dengan kulit digoreng langsung di dalam minyak panas, kemudian dipencet dengan muntu hingga bawangnya lepas dari kulitnya. Selanjutnya cabe diulek kasar, diberi terasi sedikit dan tomat. Terakhir...tempe goreng yang masih panas dikepruk... eeeh...dipukul dengan muntu, langsung di atas cobeknya... sedaaaaap...

Cara menyajikan tempe penyet ini juga khas banget. Tidak seperti hidangan lain yang boleh dipisah antara sambel dengan lauknya, khusus tempe penyet ini wajib dihidangkan dengan cobeknya untuk setiap orang...Jadi kita makan dengan perangkat asli dari batu, dan dicolek langsung saat menyantapnya...hehehehe...Dipadu dengan nasi yang panas...alamaaaak...Asyiknya nggak ada duanya deeeh....Itu sebabnya, agar tampilan tempe penyet tetap cantik dan menarik di atas meja, kita perlu memilih cobek yang bersih dan masih utuh...jangan yang cowel pinggirannya.

Hmmm...jadi ngiler yaaakkk...hahahahaha....( Slruuuppss...).



Cerita tentang cobek dan ulek-ulek atau muntu tentu tidak hanya untuk membuat sambel nasi goreng dan sambel tempe penyet saja.

Di rumah tangga Indonesia, dari Barat sampai ke Indonesia Timur, dari Aceh sampai ke Papua, kita mengenal cobek dan ulekannya. Perabot dari jaman batu itu...(hhmmhh...) hampir selalu ada di dapur para ibu, termasuk kaum bidadari seperti saya...hihihi...

Ya, iyalah...biarpun saya termasuk bidadari, tapi kalau urusan ulek-mengulek dan menggerus bumbu masak, saya lebih suka pakai cobek dan ulek-ulek batu dari pada pakai yang lain. Entah kenapa, rasanya lebih mantap gituh....(nulis ‘gitu’nya kudu make ‘h’...biar lebih seru...hehe...). Bumbu masak, mulai dari cabe, bawang, ketumbar, kunyit, kencur, merica, merica...lebih enak diulek di dalam cobek dan lebih menyatu rasanya. Dan konon ini juga mempengaruhi rasa masakan, karena bumbu yang diulek, ditumbuk dengan batu akan pecah isinya dan melebur menjadi satu.

Oya...dari pengalaman saya mengembara mengikuti orangtua dari satu kota ke kota lain, bentuk cobek ini juga bermacam-macam. Dari mulai yang datar persegi seperti meja, hingga yang bundar mirip piring, bahkan ada yang sebesar boneng...hahaha...maksudnya besaaaaaar sekali...mirip tampah yang berdiameter 50 cm. Bukan Cuma sepuluh dua puluh cabe yang bisa diulek di sini, tapi setengah kilo cabe bisa sekaligus digiling...hmm...

Bentuk gilingannya juga disesuaikan dengan keperluan. Di rumah saya, ada ulekan bundar mirip batu, yang pas digenggam. Ini gunanya untuk mengulek bumbu di dalam cobek yang permukaannya hanya melengkung sedikit dengan model oval mirip piring lonjong. Kadang juga yang untuk mengulek bumbu pecel, kalau lagi rajin...hiks hiks..Ada lagi ulekan yang mirip pestol (walaaah....), dan ukurannya pun bermacam-macam, dari yang agak mungil pas untuk cobek kecil, hingga yang besar dengan permukaan datar seperti gagang pestol beneran...(hiii hiiii....). 

Masih ada lagi ( tapi sekarang sudah jarang dipergunakan), yaitu yang bentuknya panjang lonjong seperti lontong. Dulu dipergunakan dengan cobek datar untuk mengulek cabe. Tapi karena saya sudah jarang membuat bumbu gulai dan sambal, jadinya ulekan ini sudah nyaris masuk ke museum, karena tidak pernah dipakai lagi...hiks hiks...

Itulah...sekilas koleksi cobek dan ulek-ulek bidadari, yang sejak jaman eyang saya selalu menjadi primadona di dapur. Malah dulu, seingat saya, di dapur eyang saya ada rak khusus untuk cobek dan ulek-ulek ini. Beberapa ukuran cobek dijajarkan secara berurutan dari yang besar di belakang, hingga yang kecil-kecil ukuran personal di bagian depan. Sedangkan ulek-uleknya ditaruh di sebelahnya, dengan berjajar sesuai cobeknya. Ini sih aturan dari Eyang Kakung saya yang super perfect dan sangat teratur dalam segala hal...hehe...jadi kalau ada cobek yang bergeser atau ulekan yang hilang...hmm...pasti ketahuan...Soalnya kadang saya suka iseng juga sih...meminjam ulekan untuk memukul manggis dan lupa mengembalikan...wakakaka....

Ketika saya berkeluarga, ibu saya menghadiahkan sebuah ulekan batu yang bulat dari Padang. Batu bulat yang sudah licin dan siap pakai itu sempat saya bawa pindah kemana-mana, sebelum akhirnya hilang ketika kami beberes rumah. Rupanya Asisten Kitchen saya yang baru tidak tahu, bahwa batu bulat itu adalah ulekan. Dipikirnya itu batu nyasar entah dari planet mana. Maklum, beda budaya jadi beda juga ulek-ulekannya...

Bukan hanya itu koleksi cobek dan ulekan saya. Bila bepergian ke luar kota, saya juga sering berburu cobek dan ulek-ulek. Saya punya cobek berbentuk bunga dan ikan dari Malang, dan cobek batu hitam dari Magelang. Itu belum termasuk cobek ukuran ekstra besar yang saya bawa berat-berat dari Medan dan Padang...hihihi...Bangga banget ya, dengan koleksi jaman batu ini...




Itulah....cobek dan ulek-ulek atau dalam logat Jawa ditulis dengan ‘g’ menjadi uleg-uleg...

Walaupun sekarang sudah jaman milenium dan serba elektronik, tetapi si cobek dan ulek-ulek ini tetap pantas dan keren bersanding dengan perabotan modern semisal food processor dan blender yang bisa dalam sekejap menghancurkan cabai dan tomat. Dia pun tidak kuatir akan tergusur oleh jaman dan bumbu instan siap pakai yang tinggal cemplung ke dalam kuali.

Cobek dan ulek-ulek ini tetap berjaya, selama para bidadari masih mau mengulek sambal untuk para Pangeran dan junior-juniornya, selama tempe penyet masih menjadi tuan rumah di meja makan sendiri....

Konon katanya, cinta itu datangnya dari perut. Dan cobek serta pasangannya sang ulek-ulek ini adalah bagian dari ekspresi cinta. Mengapa demikian ? Berbeda dengan food processor listrik yang tinggal tekan tombol, untuk mengulek cabe dengan ulekan perlu tenaga ekstra dan pengerahan emosi. Di situlah cinta bermula, dan mengalir melalui sentuhan cobek dengan ulekannya.

Percaya tidak percaya, cobek dan ulek-ulek memang wakil dari sebuah tradisi dan budaya yang tidak terkikis oleh jaman. Seorang sahabat saya yang terdampar di Negeri Van Oranje tetap menggunakan cobek dan ulek-ulek di dapurnya untuk menyajikan masakan untuk Pangeran Bulenya yang tercinta. Begitu pula, anak saya si Cantik yang jauh di Negeri Lady Di, tetap berkutat dengan cobek dan ulek-ulek untuk menghadirkan masakan dalam nuansa asli Indonesia...

Kembali ke cobek dan ulek-ulek...kembali ke dunia nyata....

Jaman boleh berubah, musim boleh berganti. Selama selera lidah dan perut kita masih selera Nusantara...maka cobek dan ulek-ulek tetap akan eksis di dapur dan di meja makan kita. Hadir bersama cinta...hadir bersama kehangatan keluarga...

Masih suka pakai cobek dan ulek-ulek ? Ahaaaaa....saya tunggu ulekan berikutnya...





Jakarta, 8 Februari 2010

Salam hangat,


Ietje S. Guntur


Special Note :
Berjuta terima kasih untuk my lovely Mom dan Eyang Putri yang mengenalkan cobek dan ulek-ulek yang luar biasa...juga buat si Cantik , serta sahabatku Nonce yang menjadi inspirasi tulisan ini...love U allz...




Ide :
1. Kalau mau membuat sambel segar atau sambel dadakan kita membutuhkan cobek dengan uleg-ulegannya.
2. Kalau mau menggiling bumbu secara tradisional juga lebih enak diuleg di dalam cobek batu . Bumbu akan menjadi tercampur dengan baik dan merata. Butir-butir bumbu dan bahan lainnya agak tergerus dengan halus.
3. Biarpun sudah ada alat penghalus bumbu elektronik tapi lebih mantap dengan cobek dan uleg-ulegan tradisional.
4. Ibaratnya, bumbu makanan baru mantap kalau sudah diuleg.
5. Untuk menyatupadukan keberagaman juga 

Tidak ada komentar: